Maros, 6 Mei 2025 — Dinamika internal Himpunan Pelajar dan Mahasiswa Indonesia (HPPMI) Maros jelang Kongres ke-18 untuk periode 2025–2027 kini memasuki fase paling mengkhawatirkan. Sejumlah kader dari berbagai komisariat menyoroti secara tajam arah gerak organisasi yang dinilai telah jauh melenceng dari semangat perjuangan mahasiswa. Kekhawatiran ini sejalan dengan opini publik yang mengemuka dalam artikel bertajuk "Benarkah HPPMI Maros Berada dalam Cengkeraman Oligarki Daerah?" yang dirilis Sulawesion.com beberapa waktu lalu.
Salah satu titik kritis yang menjadi sorotan adalah munculnya salah satu pasangan calon Ketua Umum dan Wakil Ketua Umum yang diduga kuat dikendalikan dari balik layar oleh elit politik daerah. Meski keduanya merupakan kader internal HPPMI, namun gerak dan pencalonannya dinilai bukan lahir dari proses kaderisasi murni, melainkan bagian dari skenario besar kekuasaan.
“Mereka hanya jadi wajah depan dari kekuatan eksternal. Ada penguasa daerah yang menyetir langkah mereka. Ini bukan pertarungan ide, tapi operasi politik terselubung,” ujar seorang kader dari Komisariat Unibos-Polibos.
Lebih lanjut, kegelisahan kader juga ditujukan pada proses rekonsiliasi yang dijalankan sebelum kongres. Rekonsiliasi yang semestinya menjadi jalan damai dan pemulihan organisasi justru dinilai cacat secara prosedural. Proses tersebut dinilai tertutup, tidak inklusif, dan hanya dimanfaatkan untuk meredam konflik serta memuluskan langkah pasangan calon yang telah disiapkan.
“Rekonsiliasi itu hanyalah alat. Tidak melibatkan basis kader secara demokratis, dan tidak memiliki kekuatan legitimasi. Proseduralnya cacat dan penuh kepentingan,” tegasnya.
Sejauh hari ini, isu soal rekonsiliasi yang seharusnya menjadi upaya menyatukan dualisme kepemimpinan pasca Kongres ke-17 di Sinjai justru dibiarkan mengambang tanpa kejelasan arah. Banyak fenomena yang terjadi memperlihatkan bahwa proses ini tidak diarahkan pada penyatuan visi bersama tentang HPPMI sebagai lembaga kolektif, melainkan hanya menyamarkan konflik laten yang terus berkembang. Munculnya dua sektoral kepemimpinan dibiarkan berjalan, bahkan difasilitasi diam-diam oleh kekuatan tertentu, tanpa adanya upaya serius untuk konsolidasi secara menyeluruh.
Jika kondisi ini dibiarkan terus berlarut sebelum memasuki forum tertinggi HPPMI Maros, yakni Kongres ke-18, maka organisasi kedaerahan tertua di Kabupaten Maros ini akan mencatatkan sejarah yang tidak layak dicontoh oleh generasi penerus HPPMI. Konflik internal ini seharusnya diselesaikan bukan hanya melalui formalitas penyatuan dua kubu, melainkan diarahkan menuju muara kepemimpinan yang jelas: yang mampu menyelesaikan persoalan fundamental organisasi dan menjawab tantangan masa depan HPPMI Maros.
Kondisi ini menciptakan kecemasan lebih luas di kalangan kader, terutama dari kalangan komisariat dan anggota baru yang menjadi korban dari skenario kekuasaan ini. Mereka dimobilisasi tanpa pemahaman substansial mengenai dinamika organisasi, hanya demi mengamankan dukungan politik terhadap pasangan tertentu.
“Kader baru tidak diberi ruang untuk berpikir kritis, mereka hanya dibawa sebagai angka untuk mengesahkan kepentingan. Komisariat bukan lagi tempat pendidikan kader, tapi jadi alat legitimasi kekuasaan,” ujarnya.
Fenomena ini menandai pergeseran orientasi HPPMI Maros yang sebelumnya dikenal sebagai organisasi perjuangan mahasiswa — kritis, independen, dan vokal terhadap kebijakan publik — menjadi instrumen kekuasaan politik daerah. Kongres ke-18 yang seharusnya menjadi momentum penyatuan gagasan justru terancam menjadi panggung pengesahan boneka politik.
“Kalau ini dibiarkan, maka bukan hanya kepemimpinan yang rusak, tapi juga masa depan HPPMI. Kita akan kehilangan marwah sebagai organisasi mahasiswa,” kata seorang kader lainnya.
Sejumlah elemen komisariat menyerukan perlunya gerakan kolektif menyelamatkan organisasi dari intervensi eksternal dan manipulasi internal. Mereka mendesak agar kongres benar-benar menjadi forum demokratis yang memprioritaskan integritas, keterbukaan, dan akuntabilitas.
“HPPMI bukan alat kampanye. Kader bukan pion politik. Komisariat bukan kendaraan kekuasaan. Ini organisasi kita, dan harus kita rebut kembali,” pungkasnya.
Berharap seluruh kader HPPMI, sebagai generasi yang merawat sejarah besar HPPMI Maros, dapat membuka mata atas kondisi yang terjadi hari ini, karena apa yang terjadi di masa kini akan menjadi penentu arah masa depan organisasi. Hanya dengan kesadaran kolektif dan keberanian untuk menjaga integritas, kita dapat melanjutkan semangat juang para pendahulu dan memastikan HPPMI tetap menjadi rumah perjuangan, bukan alat kekuasaan.